Karya Oleh Mohammad Hasan
Belajar tidak harus di sekolah atau pun di lembaga pendidikan tertentu. Demikian juga dengan sepakbola. Belajar sepakbola tidak harus ikut Sekolah Sepakbola (SSB) atau pun masuk akademi sepakbola. Meskipun demikian alangkah lebih baiknya jika belajar (pelajaran umum maupun sepakbola secara khusus) itu ada pembimbing atau mentornya.
Inilah kiranya yang dapat saya tangkap dari film kartun bertema sepakbola, Whistle. Film ini dulu tayang di salah satu TV swasta nasional yang sekarang sudah berganti nama. Saya pribadi hanya nonton film ini beberapa episode. Tetapi hal itu benar-benar meninggalkan kesan yang mendalam.
Singkat cerita saya kemudian menonton ulang seluruh espideo film ini. Saya tidak pernah bosan nonton film ini karena banyak sekali pelajaran dan motivasi yang saya dapatkan. Dibandingkan film sejenis yang banyak beredar, saya pikir film ini lebih rasional dan riil. Berbeda dengan film kartun yang dapat mengeluarkan tendangan macan dan berbagai avatar sebagai kekuatan untuk mengalahkan musuhnya.
Shou Kazamatzuri adalah tokoh utama dalam film ini. Shou diceritakan seorang yang sangat mencintai dan ingin menjadi pemain bola. Sayangnya terkendala fisiknya yang kecil sehingga tidak dimasukkan ke dalam tim utama. Untuk mewujudkan impiannya tersebut Shou kemudian pindah sekolah dan berlatih keras untuk masuk dalam tim sepakbola sekolahnya.
Pada akhirnya salah satu yang membuat saya sangat terkesan dengan film ini adalah kekompakkan antara Shou Kazamatzuri (no 9) dan Shigeki Satou (no. 11) sebagai penyerang utama tim SMP Sakura Josui (sekolah Shou yang baru). Dua penyerang ini bagi saya benar-benar menggambarkan bagaimana karakter striker no. 9 dan no. 11 di masa lalu. Belum lagi ditunjang kemampuan Tatsuya Mizuno sebagai gelandang no. 10 yang juga membumbui beberapa konflik dalam film ini.
Itulah gambaran singkat dari film ini. Pada masa sekarang mungkin cukup sulit untuk mencari pemain-pemain bertipe no. 9, 10, dan 11. Sepakbola sudah berkembang sangat pesat dan modern. Tetapi tidak ada salahnya kiranya mengenang masa lalu melalui film ini. Apalagi seperti yang saya sebutkan di atas ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari film ini seperti tipe-tipe striker di masa lalu dan belajar mengenal formasi 3-5-2 tiga bek sejajar.
Kami cukup sering mengulas bagaimana sepakbola digambarkan dalam medium komik dan kartun. Simak beberapa di antaranya:[Review] Giant Killing: Kartun Sepakbola Jepang yang Mengajarkan Kita Menjadi Pelatih
Lima Pemain Chelsea Dikartunkan Ala The Simpsons
(On this Day 10 Februari) El Clásico Tom and Jerry
Tipe-Tipe Striker
Sriker bertipe afektif. Demikian saya menyebut tipe striker yang pertama ini. Terdengar seperti jenis-jenis nilai dalam raport anak sekolah. Tidak salah memang. Afektif yang saya baca adalah berkaitan dengan sikap dan nilai. Hal ini mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Bagi saya Shou Kazamatzuri menggambarkan striker bertipe afektif ini.
Shou merupakan pemain yang cepat belajar dan tidak mudah menyerah. Salah satu contohnya ketika dia terpilih masuk dalam tim senbatsu Tokyo mewakili sekolahnya (episode 31). Shou harus bersaing dengan striker-striker dari SMP lain yang lebih berpengalaman dan langganan masuk tim senbatsu Tokyo. Di sinilah Shou menunjukkan karakternya sebagai striker tipe afektif yang mempunyai sikap dan nilai positif untuk bersaing secara sehat. Sikap positif itulah yang kemudian menjadi pertimbangan pelatih tim Senbatsu Tokyo untuk menyertakan Shou dalam tim. Dalam kehidupan nyata, contoh striker tipe afektif ini adalah Bambang Pamungkas.
Ada karya anime lain yang bisa juga digunakan sebagai medium untuk memahami peran dan tipe-tipe striker. Simak ulasannya:
Kemudian tipe striker yang kedua adalah tipe psikomotorik. Yaitu tipe striker yang mengandalkan insting/instuisinya dalam bergerak. Secara sikap dia tidak terlalu istimewa karena memang kelebihannya adalah pada psikomotoriknya (geraknya dalam membuka ruang dan menguasai bola). Dalam referensi yang saya baca kemapuan psikomotor merupakan kemampuan yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu.
Contoh striker tipe ini adalah rekan duet Shou di SMP Sakura Josui, Shigeki Satou. Dalam satu pertandingan melawan SMP Hiba yang mengenalkan formasi 3-5-2, Shige dengan pergerakan psikomotoriknya yang istimewa menjadi andalan untuk membongkar pertahanan flat tiga SMP Hiba. Di kehidupan nyata contoh striker tipe ini adalah Boaz Salosa.
Yang terakhir adalah striker tipe kognitif. Merupakan tipe striker yang mempunyai kombinasi teknik individual yang bagus dan didukung pengetahuan taktikal yang benar (dalam arti striker yang cerdas dan berkembang melalui penguasaan taktik yang dimiliki). Sedangkan pengertian kognitif sendiri adalah kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, mulai dari mengingat sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungkan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan suatu masalah.
Dalam film kartun Whistle ini tipe striker ini ada pada diri Fujishro Seiji, striker utama SMP Musashi No Muri. Fujishiro adalah striker yang lengkap, dribelnya sempurna, kecepatan oke, postur mendukung, dan tentu yang paling penting dari striker tipe kognitif adalah pengetahuan teorinya. Sebagai striker utama SMP Musashi No Muri, yang merupakan SMP unggulan dalam cerita film ini, semua bakat tersebut sudah sepatutnya dimiliki oleh Fujishiro.
Dalam konteks dunia nyata contoh striker tipe ini adalah Kurniawan Dwi Julianto, striker flamboyan Indonesia yang pernah belajar sepakbola ke Italia. Juga barangkali Widodo Cahyono Putro.
Formasi 3-5-2 Flat Tiga
Sejauh yang saya tangkap setting cerita film ini adalah awal tahun 1990 ketika J-League baru berdiri. Saat itu formasi 3-5-2 sedang booming digunakan oleh tim-tim sepakbola di Eropa (terutama timnas Jerman yang menjuarai Piala Dunia 1990 dengan formasi ini). Formasi ini kemudian coba diterapkan oleh pelatih tim SMP Hiba yang baru saja belajar tentang pengembangan sepakbola usia muda di Eropa.
Bagaimana budaya populer seperti komik dan film kartun ikut mengembangkan sepakbola Jepang, sila baca ulasan kami:
Jika umumnya formasi 3-5-2 menempatkan salah satu bek tengah sebagai sweeper, tidak demikian dengan formasi 3-5-2 flat tiga. Ketiga bek tengah akan berdiri dalam satu garis lurus sehingga memudahkan untuk menjebak penyerang lawan dalam posisi offside. Oleh karena itu formasi ini sangat berisiko tinggi bagi lini pertahanan. Diperlukan seorang bek yang mempunyai kepemimpinan yang kuat untuk memimpin lini pertahanan formasi tiga bek sejajar ini. Selain itu kepercayaan dan komunikasi antar bek mutlak diperlukan. Setiap pemain juga dituntut untuk kuat dalam duel satu lawan satu.
Dikatakan juga bahwa formasi 3-5-2 sejajar ini hidup dan mati dari kepemimpinan salah satu bek tengah yang menjadi pusat komando di dalam lapangan. Dalam sepakbola nyata, contoh pemain yang memerankan posisi ini adalah Franz Beckenbauer. Dari berbagai ulasan yang pernah saya baca Der Kaiser berperan sebagi libero yang juga menjadi pusat permainan tim Jerman. Di situlah letak kekuatan utama formasi 3-5-2 sejajar ini yaitu kepemimpinan dan kharisma dari salah satu pemainnya yang bisa menjadi panutan bagi pemain yang lainnya.
Penulis adalah pelatih sepakbola amatir dari Pulau Madura yang sedang belajar menulis. Dapat dihubungi melalui akun twitter:Â @mohammadhasan11.
Komentar